Pesona Desa Loram Kulon Masjid wali - Makam Kuno - Makam Syeh Abdur Rohman Tuan Sang sang - Kuliner Bandeng Presto - Industri Tas

Sabtu, 21 Januari 2012

Ampyang Maulid


AMPYANG MAULID



Ampyang Maulid terdiri dari dua kata yaitu "Ampyang" dan " Maulid ". Menurut sesepuh Desa Loram Kulon "Ampyang" adalah jenis krupuk yang terbuat dari tepung, berbentuk bulat dengan warna yang beraneka macam. Oleh masyarakat Desa Loram Kulon pada waktu itu krupuk tersebut dijadikan sebagai hiasan sebuah tempat makanan berbentuk persegi empat, terbuat dari bambu, kayu dengan bentuktempat ibadah agama Islam seperti Masjid, Musholla, rumah joglo dan lainnya yang dibagian pojoknya diberi hiasan spesifik bunga jambul yaitu bambu di serut hingga mlungker-mlungker (melingkar-lingkar) kemudian diberi berbagai macam warna. Didalamnya berisi nasi dan lauk pauk yang kemudian di usung ke Masjid Wali At Taqwa Loram Kulon setiap tanggal 12 Robi'ul Awwal untuk memperoleh berkah.  
    
Sedangkan kata 'Maulid" adalah berasal dari bahasa Arab Walada menjadi bentuk masdar tnaulidan yang aninya kelahirart. Jadi kata Ampyang bila dirangkai dengan kata Maulid sehingga menjadi Ampyang Maulid mempunyai arti makanan yang di tata sedemikian rupa dalam suatu wadah yang unik yang di usung oleh masyarakat pada perayaan mcmperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW di Masjid Wali Loram Kulon.

           ZAMAN KOLONIAL BELANDA

Di sebelah barat Kota Kudus ± jarak 35 KM terdapat kota Jepara. Tepatnya di Mantingan masuk wilayah kabupaten Jepara terdapat sebuah bangunan Masjid kuno selain itu juga terdapat Makam Ratu Kalinyamat. Dalam sejarah tahun 1573 - 1574 M pernah memberi bantuan armada kepada Aceh dan Johor untuk melawan Portugis di Malaka. Ratu Kalinyamat bersuamikan Sultan Hadirin yang juga murid dan menantu Sunan Kudus.
Masjid Wali At Taqwa Loram Kulon di dirikan oleh Sultan Hadirin dari Mantingan dalam rangkaian penyebaran Agama Islam di Jawa Tengah. Setelah mendirikan Masjid di Pandanaran Semarang diteruskan di daerah Loram Kulon, Jepang dan Jati Wetan.
Pada   masa   Sultan   Hadirin   inilah   ajaran   agama   Islam   mulai diperkenalkan   kepada    masyarakat Loram Kulon, setiap hari Jum'at    Sultan Hadirin naik Kuda dari Mantingan Jepara menuju Loram Kulon untuk Sholat Jum'at dilanjutkan dengan da'wah keagamaan. Tradisi Ampyang Maulid pada masa itu diadakan dalam rangka mempcringati hari kelahiran atau Maulid Nabi Muhammad SAW.
Prosesi Ampyang Maulid saat itu sangat sederhana, Ampyang oleh masing-masing kelompok baik dari kelompok dukuh-dukuh. maupun sekelompok orang untuk di bawa ke Masjid di taruh di depan
Masjid  Wali  Loram  Kulon,  pada waktu itu belum di rehab, karena banyaknya  peserta  Ampyang,  tempatnya tidak muat hingga melebar sampai ke depan Gapura. Pada saat itu Kepala Desa Loram Kulon beserta perangkat Desa Loram Kulon dan Kepala Desa Loram Wetan beserta Perangkat Desa LoramWetan masing-masing membawa manganan (shodaqoh) di taruh dalam Ampyang dan di bawa ke Masjid dengan berpakaian seragam kebesaran pejabat Desa. Semua Perangkat Desa baik Loram Kulon maupun Loram Wetan di haruskan mengikuti acara Ampyang Maulid dan tidak boleh di wakilkan.
Kepala Desa Loram Kulon beserta Perangkatnya masuk lewat pintu Gapura sebelah selatan dan duduk di Masjid sebelah selatan, sedangkan Kepala Desa Loram Wetan beserta Perangkatnya masuk pintu Gapura sebelah utara dan duduk di Masjid sebelah utara. Setelah semuanya masuk Masjid maka Acara dimulai dengan Do'a bersama ( ngalap berkah ) yang di pimpin oleh Imam Masjid, dan diakhiri dengan makan shodaqoh bersama setelah itu Ampyang di bawa pulang kembali.
Pada masa Kolonial Belanda tradisi Ampyang Maulid berlangsung dengan baik tanpa ada tekanan sampai pada masa Penjajahan Jepang tahun 1941 M. Pada akhir abad ke XVI Bangsa Belanda mulai masuk   ke Indonesia yang di pimpin oleh Ratu WILHELMINA Ibu dari  Ratu YULlANA   dan   pada   abad   ke   XVII   telah   berhasil   menanamkan kekuasaannya di daerah-daerah  yang  vital dan  startegis  bagi dunia  perniagaan dan politik di Indonesia pada waktu itu.

      ZAMAN PENJAJAHAN JEPANG

 Bangsa Jepang masuk ke Indonesia dengan propaganda sebagai pemimpin Asia dan Saudara tua bangsa Indonesia ternyata lebih menyengsarakan bangsa Indonesia, Karena terjadi perampasan hasil pertanian dan bahan-bahan pokok. Pakaian yang dipakai pada saat itu terbuat dari karung goni, makanan dari umbi-umbian, bonggol pisang, ketela dan nasi jagung. Termasuk masyarakat Loram juga mengalami krisis bahan makanan.  
Masa penjajahan Jepang berlangsung dari tahun 1942 - 1945 M pada periode ini tradisi Ampyang Maulid berhenti dikarenakan krisis perekonomian , krisis bahan makanan dan sandang.
                                                                               

     ZAMAN KEMERDEKAAN RI 1945        

 Pada tahun 1945 M bangsa Indonesia memproklamirkan   Kemerdekaannya dari segala bentuk penjajahan termasuk Belanda  atau Jepang.
Pada tahun 1945-1946 M tradisi Ampyang Maulid masih terhenti dikarenakan situasi Politik dan Ekonomi yang belum normal ( masa transisi ) setelah di jajah Jepang. Baru pada tahun 1947 M kegiatan tradisi Ampyang Maulid berlangsung kembali sampai pada tahun. 1959 M. pada masa ini PKI merancang ingin merubah Ideolosi Pancasila dengan Ideologi MANIPOL USDEK serta Nasakom.


Jumat, 20 Januari 2012

Tradisi Kirab Pengantin


Tradisi Kirab Pengantin

Tradisi kirab pengantin dilaksanakan oleh masyarakat yang baru saja melaksanakan ijab qobul pernikahan. Setelah melaksanakan ijab qobul pasangan pengantin terlebih dahulu bersedekah di Masjid Wali agar terhindar dari balak atau musibah kemudian berjalan mengelilingi Gapura Masjid Wali satu kali dimulai dari pintu sebelah kiri dengan mengucapkan doa “Allahumma Barik Lana bil Khoir” yang artinya, “Ya Allah berkahilah kami dengan kebaikan”. Proses pelaksanaan tradisi kirab pengantin sering dilaksanakan masyarakat Desa Loram Kulon pada bulan Syawal, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Shofar, Robiul Awwal dan Robiul Akhir. Meskipun pasangan pengantin menikah di luar kota Kudus dan salah satu mempelai merupakan orang asli keturunan Loram, pengantin tersebut harus tetap melaksanakan tradisi kirab pada Gapura Masjid Wali.
Adat istiadat tersebut dilaksanakan oleh masyarakat Loram Kulon karena sudah menjadi hukum adat agar kedua mempelai memperoleh berkah serta agar mengingatkan kedua mempelai akan pentingnya masjid sebagai tempat beribadah umat Islam.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa munculnya sebuah tradisi  di suatu tempat karena ada suatu mitos yang dipercaya oleh masyarakat, seperti halnya masyarakat Desa Loram Kulon yang sangat mempercayai cerita mitos Gapura Masjid Wali. Ada juga masyarakat yang berpandangan bahwa mitos yang dipercaya oleh seluruh lapisan masyarakat merupakan suatu doa. Jika ada yang melanggarnya pasti akan mendapat balak atau musibah. Setiap kejadian atau peristiwa yang berkaitan dengan Gapura Masjid Wali masih sangat dipercaya oleh masyarakat sampai sekarang, bahkan tradisi ini diceritakan kepada anak cucu mereka sebagai warisan leluhur yang harus dilestarikan secara turun temurun.

Tradisi Sego Kepel


Tradisi Sega Kepel


Tradisi Sega Kepel merupakan tradisi yang diwariskan oleh Sultan Hadirin ketika  beliau memberikan dakwah keagamaan setiap hari Jum’at. Masyarakat Loram Kulon selalu membuat sega kepel untuk dikirim ke Masjid Wali dan ke Makam Syekh Abdurrohman Tuan Sang Sang setiap mereka punya hajat seperti pernikahan, membuat rumah, punya nadzar karena sakit, khitanan dan lain- lain. Dengan melaksanakan tradisi sega kepel masyarakat percaya akan mendapatkan berkah dan terhindar dari balak. Biasanya orang yang punya hajat mengirim sega kepel dengan lauk pauk bothok yang terbuat dari tempe, tahu, bandeng, ayam, kerbau dan lain- lain. Mereka melakukan selamatan dengan sega kepel sebanyak tujuh buah karena dalam waktu satu bulan terdapat angka tujuh yaitu 7, 17 dan 27 yang artinya seseorang yang bersedekah akan mendapat pitutur (nasehat), pituduh (petunjuk) dan pitulung (pertolongan). Selamatan sega kepel sangat ramai pada hari Jum’at, bahkan terkadang dalam satu hari ada 23 kali sega kepel.
Setelah sega kepel di serahkan kepada Pengurus Masjid kemudian didoakan setelah itu dimakan bersama-sama oleh para jamaah sholat maktubah atau orang yang ada di masjid tersebut. Apabila tidak habis dimakan oleh orang-orang yang ada di masjid maka oleh merbot masjid kemudian dibagikan kepada masyarakat sekitar.

Gapura Masjid Wali


GAPURA MASJID WALI

Masjid AT-TAQWA yang lebih dikenal masyarakat dengan sebutan "MASJID WALI" berada di daerah Loram Kulon, kecamatan Jati, kabupaten Kudus. Luas tanah 959 m2 dan luas taman 40 m2 .Didirikan pada tahun 1596-1597 abad ke 15 pada masa Hindu Budha menuju ke islam, oleh Tjie Wie Gwan, salah seorang pengembara dari kerajaan Campa, Cina. Awal mula beliau sampai di Indonesia, tepatnya di daerah Jepara dikarenakan tahta yang seharusnya diserahkan kepadanya, direbut oleh kakaknya, sehingga beliau berniat pergi merantau dan akhirnya sampai di Jepara, yang pada saat itu daerah Jepara dipimpin oleh Ratu Kalinyamat, masih dibawah naungan kerajaan Bintoro Demak.
Pada waktu itu, Ratu Kalinyamat yang masih gadis, ingin memiliki pendamping hidup, maka diadakanlah sayembara. Barang siapa yang dapat memenangkan sayembara tersebut, maka akan menjadi pendamping Ratu Kalinyamat. Sayembara itu diikuti oleh para pendekar dan salah satunya yaitu Tjie Wie Gwan. Akhirnya, sayembara itu dimenangkan oleh Tjie Wie Gwan. Lalu diangkatlah ia sebagai suami dari Ratu Kalinyamat. Setelah beberapa tahun menjalani kehidupan rumah tangga, mereka berdua belum juga dikaruniai seorang putra, sehingga beliau menikah lagi dengan salah satu putri Sunan Kudus yang bernama R. Prodobinabar.

Dengan dinikahinya R. Prodobinabar oleh Tjie Wie Gwan, maka hubungan beliau dengan Sunan Kudus terjalin semakin erat. Sunan kudus mengetahui kemampuan menantunya yaitu dapat mengukir dan memahat. Dengan kemampuannya tersebut dimungkinkan untuk media dakwah penyebaran Agama Islam. Maka diperintahkanlah ia untuk menyebarkan Agama Islam di daerah Kudus bagian selatan dengan memanfaatkan keahliannya tersebut.
Ketika beliau menyebarkan Agama Islam, pertama kali yang dibangun adalah Masjid dan Gapura yang arsiteknya menyerupai kuil kuil dari Bali dengan menggunakan bata merah. Arsitektur yang menyerupai kuil itu dimaksudkan sebagai taktik/cara oleh Tjie Wie Gwan agar masyarakat sekitar tertarik untuk mendatangi Masjid tersebut karena pada masa itu masyarakat masih beragama Hindu-Budha, belum mengenal agama Islam. Setelah berhasil menarik perhatian warga setempat, kesempatan beliau untuk menyebarkan agama Islam semakin besar. Salah satu caranya dengan sedikit demi sedikit memasukkan ajaran agama Islam kepada warga yang datang ke Masjid tetapi tanpa mengandung unsur paksaan. Dengan begitu,masyarakat semakin tahu tentang ajaran ajaran Islam. Karena Masjid tersebut terbuat dari kayu, sehingga lapuk dan rapuh dimakan usia. Pada tahun 90an Masjid di rehab secara total, adapun Serambi Masjid yang dibangun tahun 1971.
Gapura telah direhab tahun 1996 ditangani langsung oleh BP3 Jateng, dan Gapura ini telah dimasukkan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB) karena usianya yang sudah lebih dari 100 tahun.
Selain menyebarkan agama Islam, beliau juga meninggalkan beberapa tradisi budaya yang masih dilaksanakan sampai sekarang.

Pendahuluan


 
PENDAHULUAN

Agama menjadi prioritas utama manusia dalam hidup bermasyarakat. Seseorang hidup tanpa agama berarti belum bisa hidup bermasyarakat. Suatu kelompok masyarakat di dalamnya tentu terdapat suatu adat istiadat serta tradisi setempat. Seperti halnya masyarakat Desa Loram Kulon yang masih mengenal dan mengamalkan suatu tradisi menjadi gaya hidup bermasyarakat. Hal tersebut berkaitan dengan ungkapan orang Jawa Desa mawa cara Negara mawa tata yang bermakna setiap desa mempunyai pranata atau adat istiadat masing-masing. Adapun agama yang dianut masyarakat Desa Loram Kulon adalah agama Islam yang terdiri dari dua ormas yaitu Nahdlatul Ulama’ dan Muhammadiyah.
Masyarakat Desa Loram Kulon merupakan masyarakat yang sangat menjunjung tinggi aspek kepercayaan, sosial, dan budaya. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih dilaksanakannya tradisi sega kepel, kirab pengantin dan ampyang maulid pada Gapura Masjid Wali yang masih dilaksanakan hingga sekarang.
Tradisi Gapura Masjid Wali merupakan suatu tradisi yang diturunkan secara turun temurun dari generasi ke generasi melalui lisan serta amaliyah oleh masyarakat di Desa Loram Kulon Kecamatan Jati Kabupaten Kudus. Tradisi Gapura Masjid Wali dilakukan dengan cara semua masyarakat Desa Loram Kulon melaksanakan sedekah sega kepel setiap ada hajat, kirab pengantin jika pasangan pengantin sudah ijab qobul serta kirab ampyang maulid setiap tahun tepat hari lahir Nabi Muhammad saw.
Tradisi sega kepel, kirab pengantin dan ampyang maulid sudah menjadi hukum adat masyarakat Desa Loram Kulon dan tidak ada masyarakat yang berani melanggarnya.

Peta Desa Loram Kulon


PETA DESA LORAM KULON

Add caption